Kamis, 19 Agustus 2010

Mencari Identitas Budaya Bangsa

Mei, 2010

Identitas adalah kebutuhan setiap individu. Dalam ranah yang lebih luas, identitas juga menjadi kebutuhan sebuah komunitas ataupun negara. Karena, tanpa adanya identitas kolektif eksistensi sebuah bangsa akan sulit diakui. Sebagai sebuah negara dengan identitas ras, bahasa dan nilai-nilai kebudayaan yang beraneka ragam, memang tidak mudah (bahkan terlalu absurd) untuk merumuskan semua itu menjadi sebuah identitas bangsa yang tunggal. 
 
Belakangan ini sebagian besar anak bangsa mulai menyadari betapa muramnya negeri ini. Salah satu sebabnya adalah pemaknaan filosofi kehidupan berbangsa. Seperti kasus terkait dengan keputusan pembatasan subsidi BBM. Kebijakan pencabutan subsidi premium merupakan kebijakan yang sangat tidak populis dan aneh. Dengan menaikkan harga BBM, jelas akan merugikan rakyat dan tentunya meruntuhkan popularitas pemerintah ketika menghadapi pemilu 2009. Aneh karena kebijakan menaikkan harga BBM tidak diikut.

Nampaknya, elit penguasa sudah keluar tujuan kemerdekaan bangsa yakni mengayomi masyarakat. Hal ini tentunya juga mengaburkan orientasinya bangsa ini di masa depan. Kesalahan sistem dalam skala nasional yang merambah dalam berbagai segi kehidupan termasuk budaya tidak bisa dibenahi secara tambal sulam. Dalam kondisi inilah banyak orang semakin lantang berteriak tentang perubahan, tentang reformasi yang belum tuntas, tentang demokrasi, dan berbagai teriakan senada yang terdengar semakin semrawut dan liar. Sebagai bangsa kita sudah kehilangan identitas kolektif yang bernama “tujuan hidup bersama”.
***
Ki Hadjar Dewantoro mengajarkan kita untuk menyikapi budaya asing dengan selektif dan adaptatif. Kita harus memilih mana nilai budaya yang dapat diterima dan mana yang mesti dibuang. Memaknai dan mewarnai kebudayaan, nyatanya memang selalu memerlukan dialog dengan kondisi dan kebutuhan kultur bangsa kita. Bahkan jika perlu, kita harus berani melakukan rekonstruksi kebudayaan. Sikap selektif dan adaptif seperti ini sangat perlu untuk menghindari apriori terhadap budaya luar dan di sisi lain bisa dengan sadar membina dan mengembangkan budaya kita sendiri (Nugroho : 228). 

Usaha untuk menjejakkan identitas di tengah-tengah maraknya arus informasi dan globalisasi memang tidak mudah. Benturan dan pergulatan antara jati diri dengan pengaruh asing, modernisasi menjadi fenomena yang perlu tidak mudah untuk diatasi. Desakan muatan-muatan global telah merambah keruang-ruang publik lokal hingga sampai pada hal-hal yang dianggap privat. 

Visi desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah sebenarnya merupakan angin segar dalam upaya revitalisasi budaya lokal. Isu budaya lokal sebenarnya harus lahir dari habitat sistem otonomi daerah ini. Namun kebijakan elit politik lokal justru membuka ruang lebar terhadap modernisasi dan materialisme yang menindas lokalitas dengan berbagai kearifannya. Kesenian tradisional dimatrialkan dan dinilai dengan tolok ukur uang, juga maraknya usaha kartel yang merambah masuk sampai pedesaan. Contoh yang disebut terakhir tentunya telah mematikan sektor riil yang telah menopang hidup para pedagang tradisionil. Dampak lain yang terlihat adalah perubahan perilaku alamiah masyarakat desa yang sering kita kenal. Masyarakat yang terkenal toleran dan pekerja keras lambat laun berubah menjadi masyarakat pragmatis dan konsumtif. 

Degradasi budaya seperti tersebut di atas belumlah seberapa jika dibandingkan dengan kerusakan sistem dalam dunia pendidikan indonesia. Pendidikan yang seharusnya menjadi sokoguru perubahan yang didambakan segenap bangsa, telah menjadi ajang bisnis yang meroket popularitasnya. Akhirnya bukan Soekarno atau Moh Hatta yang dilahirkan oleh pendidikan kita, melainkan frankenstain-frankenstain pemuja globalisasi. Hasilnya adalah robot-robot yang penggerak kapitalis yang telah lupa akan sisi kemanusiaannya.

***
Gerakan revitalisasi budaya lokal adalah salah satu alternatif jawaban untuk menahan laju degradasi identitas bangsa. Meski terkesan reaktif, paling tidak wacana ini mampu menyedot perhatian segenap bangsa untuk sekedar kembali menengok budaya adiluhung warisan nenek moyang. Kekuatan yang terhimpun sekian besarnya sangatlah mubazir jika tak memberikan dampak secara luas dan sistemik terhadap ranah budaya kita. 

Patut kiranya segenap komponen bangsa memikirkan bagaimana memaknai budaya secara kontekstual dan bukan hanya sebagai aset yang layak untuk dijual. Seperangkat komponen statis yang perlu dimuseumkan dan dijaga. Karena budaya adalah sesuatu yang dinamis dan kontekstual dengan jamannya. Betapa miris jika kita melihat anak-anak kita yang lebih menyukai Doraemon dan Spongebob daripada Gatutkaca maupun Si Unyil. Apa yang salah dengan anak kita? Apa yang salah dengan budaya kita?

Rupanya anak-anak lebih realistis dan mampu menganalisis menu apa yang ditawarkan. Terbukti mereka lebih memilih tayangan Doraemon yang sederhana dan mampu dicerna daripada tayangan heroik yang mereka sendiri merasa asing dengan hal itu. Kapan kita akan merdeka dengan segenap identitas kedirian jika hanya menunggu. Artinya tidak hanya para seniman atau budayawan yang bertanggungjawab memulai gerakan ini.

Pemerintah dan segenap komponen bangsa ini bertanggung jawab atas tantangan pengidentifikasian kita sebagai bangsa. Pemerintah dalam hal ini harus mulai berani menolak intervensi asing jika hal tersebut jelas-jelas merugikan. Kebijakan harus diarahkan untuk membangun kemandirian mayarakat serta memotori kekuatan perubahan sosial kapital di tiap-tiap daerah. Pada saatnya nanti kita sebagai bangsa mampu berdiri tegak dan membusungkan dada karena mempunyai identitas nasionalnya secara alami. Karena budaya diyakini memiliki makna aturan dan praktek-praktek khas sendiri yang tidak bisa yang direduksi atau dijelaskan semata oleh ketegori, level atau formasi sosial lainnya.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...