Minggu, 25 September 2011

Sertifikasi Guru, Ilmu Kependidikan Semakin tak Mendapat Tempat


Bangunan bercorak merah mendulang gagah dan megah di tengah kampus hijau Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di atasnya tertera aljabar ‘UNJ’ dengan besar. Gedung itu bernama Pusat Studi dan Sertifikasi Guru. Menurut penjaga keamanan yang bertugas di sana, gedung ini telah berdiri selama setahun setelah diresmikan oleh Menteri Pendidikan Moh. Nuh. Informasi itu belum cukup untuk menjawab berbagai pertanyaan lain sebagai bagian dari informasi penting yang ingin kami dapatkan saat akan melakukan liputan dan mengolahnya menjadi berita. Penelusuran pun berlanjut.
Saat ini, terbukti sertifikasi guru sedang dikejar oleh banyak guru atau sarjana. Tak hanya guru lulusan Program Studi kependidikan ilmu tertentu, guru yang pernah menempuh studi ilmu murni pun sangat antusias untuk mengikuti program pemerintah ini. Untuk ilmu murni mereka harus rela kuliah selama 2 tahun untuk mendapatkan predikat sebagai guru professional dari hasil sertifikasi ini. Sedangkan untuk kependidikan, mereka harus kuliah dan mengumpulkan dokumen-dokumen tertentu selama satu tahun.
Sangat menggelikan. Profesi sangat dekat dengan keterampilan dan keahlian.  Tapi penilaiannya hanya dalam bentuk dokumen atau sertifikat. Bukankah ini diluar nalar orang-orang berilmu? Apakah semua dokumen yang terkumpul menunjukkan keterampilan dan keahlian seseorang yang sebenarnya?
Persyaratan lulus sertifikasi sebagai tolak ukur profesionalisme guru mengundang segenap elemen masyarakat ramai membicarakannya. Beragam permasalahan timbul, baik masalah yang terkait dengan proses atau prosedur pelaksanaannya maupun permasalahan yang terkait dengan kualitas guru yang bersangkutan.
Diskursus mengenai keberlanjutan sertifikasi guru nampaknya akan terus bergulir entah sampai kapan. Karena sampai saat ini perdebatan antara perlu atau tidaknya sertifikasi akan berbenturan dengan kepentingan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. Bahkan beberapa pimpinan LPTK pesimistik terhadap kemampuan sertifikasi dalam menjamin mutu dan peningkatan kualitas pendidik.
Gagasan awal sertifikasi adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Sesuai amanat UU Nomor 14 tahun 2004 tentang guru dan dosen yang menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Maka program ini hendaknya janganlah dipandang sebagai proses legalisasi semata, akan tetapi harus dipandang  untuk meningkatkan kompetensi profesi guru. Karena itu prosesnya harus betul-betul dilakukan secara teliti dan cermat agar tak menurunkan mutu guru.
Perdebatan ini ternyata berlanjut hingga ketataran mahasiswa UNJ. Mohamad Hoiri misalnya, mahasiswa angkatan 2008 jurusan Pendidikan Kewarganegaraan ini mengatakan bahwa sertifikasi yang telah mengikutsertakan lulusan ilmu murni menjadi tantangan bagi mereka yang betul-betul telah ditempa menjadi guru. Karena menurutnya, saat kuliah pendidikan guru telah diajarkan kemampuan dasar yag harus dimiliki seorang guru. “Misalnya profesionalisme, multifungsional serta cara sosialisasi kepada murid,” Ucapnya, Jumat (14/1) di Fakultas Ilmu Sosial.
Di koridor masjid, siang itu, pada hari yang sama, sekumpulan mahasiswi sedang asyik bicara. Mereka adalah mahasiswi yang tergabung dalam komunitas Education Watch . salah seorang dari mereka, Rizky Wulandari mengatakan hal senada dengan Hoiri. Ia  mempertanyakan juga kulaitas guru yang berasal dari ilmu murni. Menurutnya dua tahun untuk sertifikasi guru tidak cukup untuk mengatakan mereka sebagai guru professional dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari pendidikan Guru. Masih menurut wanita berjilbab ini, selama perkulihan hingga semester 5 dia telah mendapatkan bagaimana cara membimbing dan melatih serta bagaimana memahami psikologi siswa.
Haris, mahasiswa Ilmu Geografi, berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa program ini akan berdampak pada meningkatnya kualitas guru dimana guru nantinya akan lebih kompetitif yang menurutnya akan berpengaruh pada pembangunan bangsa selanjutnya. “Dengan sulitnya seseorang menjadi guru, maka calon guru akan berusaha untuk meningkatkan kualitasnya”, demikian ungkapnya. Dari sudut pandang lain, ia mengakui bahwa sebenarnya guru lulusan dari non-kependidikan kemungkinan besar akan mengalami kesulitan dalam menjalani praktik profesinya disebabkan latar belakang studi yang pernah dijalaninya sehingga akan berimbas kurang baik pada siswa yang diajarnya. Dan, ini bertolak lagi ke sejauh mana prosedur atau proses pelaksanaan yang diterapkan sertifikasi guru berjalan.  
Beranjak ke bagian birokrasi, di gedung rektorat yang terletak di pintu utama UNJ, di lantai tiga terdapat ruangan sebesar 6x7 meter. Disana, Prof Zainal Rafli, Pembantu Rektor I telah menunggu kami untuk memenuhi janji wawancara. Pria yang saat itu berbaju batik berwarna dasar cokelat, berambut ikal, dan berkaca mata mulai menyambut kami dengan senyum ramah.
Menurutnya dengan sertifikasi, kualitas guru dapat meningkat. Karena selama sertifikasi, guru-guru  dilatih dan mendapatkan materi tentang pendidikan. Biasanya martikulasi dapat dilakukan melalui seminar-seminar.
            Sambil sesekali menatap laptop yang ada didepanya, Zainal mengatakan bahwa saat ini tidak ada hasil yang menjelaskan apakah sertifikasi menambah kualitas guru itu sendiri. “Sampai saat ini tak ada evaluasi.” Bila tidak dievaluasi kita tidak mengetahui kualitas guru tersebut. Jika guru yang lulus sertifikasi jelek maka hanya merugikan negara saja.
            Dalam melakukan sertifikasi guru-guru dikenakan biaya. “Tentu ada biayanya untuk melakukan sertifikasi,” ujarya. Martikulasi dilakukan tergantung berapa lama guru tersebut dapat memenuhi syarat-syarta sertifikasi. Biasanya selama satu hingga dua tahun. Ia menambahkan dengan adanya sertifikasi tidak menutup peluang bagi guru yang memang kuliahnya di bagian pendidikan. “Inikan tergantung dari kompetensi guru itu sendiri,” ujarnya, Jumat (14/1).
            Hartini Nara, seorang Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa berpendapat bahwa sertifikasi bagus karena dapat menunjang penghasilan guru. Tapi kenyataanya banyak permasalahan permasalahan yang timbul. Misalnya, munculnya seminar-seminar bayaran yang guru diwajibkan membayar seminar yang diikuti. Dengan adanya ini guru hanya sekedar mengikuti seminar saja untuk dapat nilai sertifikasi.
            Tak hanya itu, adanya sertifikasi yang mengikutsertakan ilmu murni menjadi pertanyaan bagi sebagian pakar pendidikan. Pasalnya kualitas mengajar ilmu murni dan pendidikan guru sangat jauh berbeda. Menurutnya dengan adanya sertifikasi tidak bisa menjadi tolak ukur apakah kualitas seorang guru baik atau tidak.
            Kalau seperti ini, apakah sertifikasi masih  bisa dipertahankan dan menjadi tolak ukur kualitas seorang guru? Padahal sertifikasi ini menjadi lahan bisnis, dengan adanya seminar-seminar yang hanya mengandalkan sertifikat untuk memenuhi poin sertifikasi.   
Jakarta, Januari 2011

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...