Bangunan
bercorak merah mendulang gagah dan megah di tengah kampus hijau Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), di atasnya tertera aljabar ‘UNJ’ dengan besar. Gedung itu
bernama Pusat Studi dan Sertifikasi Guru. Menurut penjaga keamanan yang
bertugas di sana, gedung ini telah berdiri selama setahun setelah diresmikan
oleh Menteri Pendidikan Moh. Nuh. Informasi itu belum cukup untuk menjawab
berbagai pertanyaan lain sebagai bagian dari informasi penting yang ingin kami
dapatkan saat akan melakukan liputan dan mengolahnya menjadi berita.
Penelusuran pun berlanjut.
Saat
ini, terbukti sertifikasi guru sedang dikejar oleh banyak guru atau sarjana.
Tak hanya guru lulusan Program Studi kependidikan ilmu tertentu, guru yang
pernah menempuh studi ilmu murni pun sangat antusias untuk mengikuti program
pemerintah ini. Untuk ilmu murni mereka harus rela kuliah selama 2 tahun untuk
mendapatkan predikat sebagai guru professional dari hasil sertifikasi ini. Sedangkan
untuk kependidikan, mereka harus kuliah dan mengumpulkan dokumen-dokumen
tertentu selama satu tahun.
Sangat
menggelikan. Profesi sangat dekat dengan keterampilan dan keahlian.
Tapi penilaiannya hanya dalam bentuk dokumen atau sertifikat. Bukankah ini diluar
nalar orang-orang berilmu? Apakah semua dokumen yang terkumpul menunjukkan
keterampilan dan keahlian seseorang yang sebenarnya?
Persyaratan
lulus sertifikasi sebagai tolak ukur profesionalisme guru mengundang segenap
elemen masyarakat ramai membicarakannya. Beragam permasalahan timbul, baik masalah
yang terkait dengan proses atau prosedur pelaksanaannya maupun permasalahan
yang terkait dengan kualitas guru yang bersangkutan.
Diskursus
mengenai keberlanjutan sertifikasi guru nampaknya akan terus bergulir entah
sampai kapan. Karena sampai saat ini perdebatan antara perlu atau tidaknya
sertifikasi akan berbenturan dengan kepentingan Lembaga Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan. Bahkan beberapa pimpinan LPTK pesimistik terhadap kemampuan
sertifikasi dalam menjamin mutu dan peningkatan kualitas pendidik.
Gagasan awal
sertifikasi adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Sesuai
amanat UU Nomor 14 tahun 2004 tentang guru dan dosen yang menetapkan
kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya
pemberdayaan guru. Maka program ini hendaknya janganlah dipandang sebagai
proses legalisasi semata, akan tetapi harus dipandang untuk meningkatkan kompetensi profesi guru.
Karena itu prosesnya harus betul-betul dilakukan secara teliti dan cermat agar
tak menurunkan mutu guru.
Perdebatan
ini ternyata berlanjut hingga ketataran mahasiswa UNJ. Mohamad Hoiri misalnya,
mahasiswa angkatan 2008 jurusan Pendidikan Kewarganegaraan ini mengatakan bahwa
sertifikasi yang telah mengikutsertakan lulusan ilmu murni menjadi tantangan
bagi mereka yang betul-betul telah ditempa menjadi guru. Karena menurutnya,
saat kuliah pendidikan guru telah diajarkan kemampuan dasar yag harus dimiliki
seorang guru. “Misalnya profesionalisme, multifungsional serta cara sosialisasi
kepada murid,” Ucapnya, Jumat (14/1) di Fakultas Ilmu Sosial.
Di
koridor masjid, siang itu, pada hari yang sama, sekumpulan mahasiswi sedang
asyik bicara. Mereka adalah mahasiswi yang tergabung dalam komunitas Education Watch . salah seorang dari
mereka, Rizky Wulandari mengatakan hal senada dengan Hoiri. Ia mempertanyakan juga kulaitas guru yang berasal
dari ilmu murni. Menurutnya dua tahun untuk sertifikasi guru tidak cukup untuk
mengatakan mereka sebagai guru professional dibandingkan dengan mahasiswa yang
berasal dari pendidikan Guru. Masih menurut wanita berjilbab ini, selama
perkulihan hingga semester 5 dia telah mendapatkan bagaimana cara membimbing
dan melatih serta bagaimana memahami psikologi siswa.
Haris,
mahasiswa Ilmu Geografi, berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa program ini akan
berdampak pada meningkatnya kualitas guru dimana guru nantinya akan lebih
kompetitif yang menurutnya akan berpengaruh pada pembangunan bangsa selanjutnya.
“Dengan sulitnya seseorang menjadi guru, maka calon guru akan berusaha untuk
meningkatkan kualitasnya”, demikian ungkapnya. Dari sudut pandang lain, ia
mengakui bahwa sebenarnya guru lulusan dari non-kependidikan kemungkinan besar
akan mengalami kesulitan dalam menjalani praktik profesinya disebabkan latar
belakang studi yang pernah dijalaninya sehingga akan berimbas kurang baik pada
siswa yang diajarnya. Dan, ini bertolak lagi ke sejauh mana prosedur atau
proses pelaksanaan yang diterapkan sertifikasi guru berjalan.
Beranjak
ke bagian birokrasi, di gedung rektorat yang terletak di pintu utama UNJ, di lantai
tiga terdapat ruangan sebesar 6x7 meter. Disana, Prof Zainal Rafli, Pembantu
Rektor I telah menunggu kami untuk memenuhi janji wawancara. Pria yang saat itu
berbaju batik berwarna dasar cokelat, berambut ikal, dan berkaca mata mulai
menyambut kami dengan senyum ramah.
Menurutnya
dengan sertifikasi, kualitas guru dapat meningkat. Karena selama sertifikasi,
guru-guru dilatih dan mendapatkan materi
tentang pendidikan. Biasanya martikulasi dapat dilakukan melalui
seminar-seminar.
Sambil sesekali menatap laptop yang
ada didepanya, Zainal mengatakan bahwa saat ini tidak ada hasil yang
menjelaskan apakah sertifikasi menambah kualitas guru itu sendiri. “Sampai saat
ini tak ada evaluasi.” Bila tidak dievaluasi kita tidak mengetahui kualitas
guru tersebut. Jika guru yang lulus sertifikasi jelek maka hanya merugikan
negara saja.
Dalam melakukan sertifikasi
guru-guru dikenakan biaya. “Tentu ada biayanya untuk melakukan sertifikasi,”
ujarya. Martikulasi dilakukan tergantung berapa lama guru tersebut dapat
memenuhi syarat-syarta sertifikasi. Biasanya selama satu hingga dua tahun. Ia
menambahkan dengan adanya sertifikasi tidak menutup peluang bagi guru yang
memang kuliahnya di bagian pendidikan. “Inikan tergantung dari kompetensi guru
itu sendiri,” ujarnya, Jumat (14/1).
Hartini Nara, seorang Dosen Jurusan
Pendidikan Luar Biasa berpendapat bahwa sertifikasi bagus karena dapat
menunjang penghasilan guru. Tapi kenyataanya banyak permasalahan permasalahan
yang timbul. Misalnya, munculnya seminar-seminar bayaran yang guru diwajibkan
membayar seminar yang diikuti. Dengan adanya ini guru hanya sekedar mengikuti
seminar saja untuk dapat nilai sertifikasi.
Tak hanya itu, adanya sertifikasi
yang mengikutsertakan ilmu murni menjadi pertanyaan bagi sebagian pakar
pendidikan. Pasalnya kualitas mengajar ilmu murni dan pendidikan guru sangat
jauh berbeda. Menurutnya dengan adanya sertifikasi tidak bisa menjadi tolak
ukur apakah kualitas seorang guru baik atau tidak.
Kalau seperti ini, apakah sertifikasi
masih bisa dipertahankan dan menjadi
tolak ukur kualitas seorang guru? Padahal sertifikasi ini menjadi lahan bisnis,
dengan adanya seminar-seminar yang hanya mengandalkan sertifikat untuk memenuhi
poin sertifikasi.
Jakarta,
Januari 2011
0 komentar:
Posting Komentar