Saat
mengurus KRS semester lalu, beberapa Jurusan membuat aturan tambahan yaitu
membayar iuran himpunan. Ternyata penyetoran iuran ini tidak mendapat restu
dari rektorat.
Awal Semester
genap Tahun Ajaran (TA) 2011 telah dimulai, aktivitas perkuliahan pun telah
berjalan seperti biasanya. Kegiatan himpunan yang sempat tersendat, kini mulai
jalan lagi sepulangnya para anggota dari aktivitas liburnya. Namun disela-sela
liburan, ada saja lembaga yang mempersiapkan kegiatanya untuk mencari dana.
Contohnya saja
di Himpunan Mahasiswa Sastra Asia Barat (Himab) Untuk mendapatkan dana kegiatan
mereka mengajukan berbagai proposal ke berbagai Instansi. Dan bahkan untuk
mencukupi dana yang kurang, pada saat pengurusan Kartu Rencana Studi (KRS) semester
lalu mereka meminta kerjasama dengan Jurusan untuk memungut iuran himpunan.
Hal itu seketika menjadi aturan di Jurusan itu
karena pembayaran iuran itu dilegitimasi oleh Jurusan. Sebut saja Linda,
mahasiswa Jurusan Sastra Ingris, angkatan 2009 ini saat mengurus KRS di Jurusanya semester
lalu, Linda
harus melunasi terlebih dahulu iuran di Himpunannya. Nah, kuitansi pembayaran
iuran itulah yang nantinya menjadi ‘tiket’ untuk mendapatkan tanda tangan Ketua
Jurusan.
Fenomena
pencampuran antara urusan akademik dan lembaga kemahasiswaan lewat iuran
himpunan ini tidak hanya terjadi di Jurusann Sastra Inggris saja. Hampir semua
Jurusan di lingkup Fakultas Ilmu Budaya pun memberlakukan hal serupa. Misalnya Jurusan Sastra Daerah, Sastra Jepang, dan
Sastra Asia Barat. Setelah ditelusuri lebih lanjut, beberapa Jurusan di luar
FIB pun memberlakukan hal serupa. Seperti yang terjadi di Fakultas Pertanian, Fakultas
Peternakan, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Iuran himpunan
yang dikaitkan dengan pengurusan KRS ini sudah lama berlaku. Aturan tersebut
diakui oleh Drs Husain Hasyim M Hum. Ketua Jurusan Sastra Inggris ini
mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak ada aturan tertulis yang menjelaskan hal
ini. Namun merupakan kesepakatan bersama antara Himpunan Mahasiswa Jurusan
(HMJ) dengan pihak Jurusan. Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Dr Bambang Sulistyo M
Hum juga mengatakan hal senada ”sepanjang iuran itu tidak memberatkan dan
merupakan hasil persetujuan bersama hal itu sah–sah saja,” tuturnya.
Sebenarnya tujuan dari aturan ini adalah agar
pemungutan iuran dapat dengan mudah dilakukan. Bendahara himpunan tidak perlu
repot menagih karena mahasiswa sendiri yang datang membayar, sebab jika tidak
membayar otomatis KRS mereka tidak akan ditandatangani Ketua Jurusan. Iuran tersebut
nantinya akan masuk dalam kas lembaga dan digunakan sebagai dana operasional
himpunan. Muhammad Hasrul Hamzah, Ketua Himpunan Mahasiswa Sastra Arab angkat
suara tentang ini. “Iuran tersebut nantinya digunakan untuk keperluan sehari–hari
himpunan dan juga digunakan sebagai dana awal jika himpunan mengadakan
kegiatan,” katanya. Andi, ketua Ikatan Mahasiswa Sastra
Daerah juga sependapat dengan Hasrul. “Dengan iuran tersebut, kami tidak
perlu harus menunggu cairnya dana dari
fakultas,” tambahnya.
Minimnya dana
dari fakultas tampaknya menjadi alasan beberapa HMJ menarik iuran dari
anggotanya. Terkait seretnya dana, Drs. M.Amir P. M.Hum selaku wakil dekan II
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) mengakui hal ini. Diutarakan oleh Amir bahwa untuk
FIB sendiri dana yang dikucurkan untuk lembaga mahasiswa memang terbatas. Dana
ini untuk seluruh kegiatan lembaga kemahasiswaan yang berasal dari delapan Jurusan
di FIB. “Belum lagi dana untuk UKM-UKM dan lembaga tingkat fakultas (BEM dan
Maperwa), jadi dana memang tidak cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan dana
himpunan mahasiswa,” tutur Amir.
Mahasiswa memang
tidak merasa keberatan membayar iuran. Toh nantinya dana itu akan mereka
gunakan juga jika ada kegiatan lembaga. Seperti diungkapkan oleh mahasiswa Jurusan
Sastra Daerah bernama Fuad. Mahasiswa
angkatan 2010 ini secara finansial tidak merasa terbebani dengan adanya
iuran tersebut. Pendapat senada juga
dilontarkan Yusuf, “Yang penting digunakan dengan baik dan tidak
diselewengkan.” tutur mahasiswa Jurusan Produksi Ternak angkatan 2009.
Meskipun
demikian, aturan tetaplah aturan yang harus mempunyai legitimasi. Pencampur-adukan
urusan lembaga kemahasiswaan dan akademik seharusnya tidak boleh terjadi.
Pembantu Dekan III Fakultas Pertanian, Prof Dr Ir Itji Diana Daud MS angkat
bicara terkait fenomena ini. Menurutnya
hal tersebut tidak dapat dibenarkan. “Urusan akademik tidak boleh
dicampur-adukkan dengan urusan himpunan mahasiswa,” ungkapnya.
Ternyata pengikutsertaan iuran dalam pengurusan KRS
yang dilegetimasi oleh Jurusan ini ternyata dilakukan tanpa SK dari rektor. Menanggapi
hal ini, Wakil Rektor I, Prof Dr Dadang A Suriamiharja, menyatakan hal ini
tidak dibenarkan karena tidak ada aturan yang membolehkan hal tersebut. “Kami
bekerja atas SK Rektor, jadi jika tidak ada SK Rektor artinya hal itu tidak
dibenarkan.” tegasnya. Lebih lanjut Dadang menghimbau pihak fakultas untuk
segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini. (Ran,Een/Hsp)
0 komentar:
Posting Komentar